Setiap jiwa, memiliki seseorang yang
tersembunyi di dalam hati. Ketika kita berpikir tentangnya, kita akan merasa
seperti tersiksa oleh diri sendiri karena memikirkannya. Tapi kita masih ingin mempertahankan
dia. Meskipun kita tidak tahu dimana
sekarang dia berada, dan apa yang sedang dia lakukan? Tapi dia yang membuat seseorang mengetahui
hal ini. Sebuah hal kecil yang dinamakan cinta……
Delapan tahun yang lalu, di saat aku masih duduk di bangku SMU
tepatnya kelas XI. Saat itulah aku mengenal sosok yang begitu menarik untukku.
Sebut dia Mario. Pada saat itu, dia adalah kakak kelasku. Ya, kelas XII. Aku
mulai mengaguminya saat pertama kali melihatnya, di saat perjalanan pulang ke rumah dari
sekolah kami. Saat itu, aku sedang bersama ketiga orang temanku di sebuah kedai
coffee favorit kami. Aku hanya dapat menatapnya dari sebuah kaca toko tersebut,
dia pun melintas tanpa memperdulikanku yang telah lama menatapnya.
Namun, tak seindah yang kubayangkan
jika aku bisa bersamanya. Saat di sekolah, dia begitu dingin denganku.
Bagaimana tidak ? Dia salah satu siswa terkenal di sekolahku karena prestasi
olahraganya. Sedangkan aku, hanyalah seorang siswi yang tak begitu populer.
Saat itu, hujan turun begitu deras
ketika kami usai pelajaran. Kulihat dia sendirian di depan pintu gerbang
sekolah. Awalnya, aku ingin menghampiri dia dan membawakan payung untuknya, sebagai tanda terimakasih karena
kemarin dia telah mengambilkan kacamataku, yang terjatuh terkena bola basket. Namun, dua meter sebelum aku sampai di
hadapannya, sudah datang seorang gadis yang juga kakak kelasku, menghampirinya dan membawakan payung
untuknya. Tentu saja akubegitu sedih yang
kurasakan saat itu! Namun, aku hanya bisa tersenyum melihatnya.
Dua minggu dari kejadian itu, aku
ditunjuk oleh guruku untuk menjadi mayoret dalam marcing band sekolah.
Sekolahku akan mengikuti sebuah karnaval. Saat itu, aku tidak begitu yakin
karena sekali pun belum pernah memiliki pengalaman kegiatan tersebut. Namun aku
mengiyakan permintaan guruku. Saat itu pula, aku tidak tahu jika Mario, ditunjuk sebagai sie dokumentasi.
Betapa bertambah semangatku untuk mengikuti kegiatan ini. Namun, tak kusangka
Natasya,
seseorang yang membawakan payung untuk Mario menjadi salah satu panitia
karnaval yang bertugas sebagai perias para peserta karnaval.
Hampir 3 minggu, aku mengikuti
latihan marcing band ini di sekolah. Dengan penuh semangat dan kerja keras, aku
mengikuti latihan agar tidak mengecewakan sekolahku. Hingga akhirnya, aku harus
pulang cukup larut malam.
Akhirnya, karnaval itu pun berjalan
dengan sukses!.
Setelah beberapa hari dari karnaval
tersebut, aku semakin dekat dengan Mario. Mungkin, karena sering bertemu pada
saat latihan karnaval dahulu. Aku pun sering diantarnya pulang ke rumah.
Terkadang, kami juga berangkat sekolah bersama, karena arah rumah kita yang searah.
Tepatnya, hari Selasa pada saat itu,
aku berangkat ke sekolah sendiri dengan menggunakan angkutan umum. Saat tiba di
kelas, aku langsung menuju mejaku. Seperti biasa, sebelum aku duduk, aku akan
membersihkan tempat dudukku terlebih dahulu. Dan kutemukan sebuah amplop di
dalam laciku. Aku pun segera membuka amplop itu, karena terdapat namaku di amplop
tersebut. Dan aku mulai membacanya.
|
Usai
pelajaran, aku langsung menuju taman sekolah untuk menemui seseorang, yang telah memberikan surat tadi
pagi, karena aku juga
begitu penasaran akan siapa pengirimnya. Sungguh, aku begitu terkejut melihat
Mario berada di kursi taman itu.
“Akankah Mario pengirimnya?” Itulah yang
bergeming di hatiku.
Namun,
sebelum aku menghampiri Mario, Natasya datang mendahuluiku.
“Jadi, bukan Mario”. Itulah jawaban
yang kusimpulkan sendiri.
Tiba-tiba,
datang seorang teman Mario yang juga kakak kelasku. Dafi namanya. Ia datang
menghampiriku secara tiba-tiba dari arah belakangku.
“Hai, Andina ya? Sudah menungguku
lama? Maaf ya.. hehehe” itulah kalimat yang diucapkannya kepadaku. Aku pun tak
mengerti apa maksudnya.
“Iya, jadi kamu yang mengirim surat
itu untukku?” tanyaku padanya.
“Hahaha.. surat? Anggap saja iya.”
Katanya.
Sungguh
saat itu aku tak mengerti apa maksud ucapannya. Akhirnya pun kami duduk di
kursi taman itu berdua.
“Itu Mario kan? Bersama siapa dia?
Pacarnya ya? Natasya?” tanyanya kepadaku yang lantas ku jawab, “Mungkin.”
Kemudian,
Mario berjalan berdua dengan Natasya melewati tempat kami berdua duduk. Mario pun memberikan senyum
manisnya kepadaku sambil mengejek Dafi.
“Cantik juga pacar kamu, Daf!!”
begitulah katanya yang sedikit membuatku merasa sesak, di hatiku secara tiba-tiba.
“Hahaha.. jelas lah cantik pacar gue
gitu.” Itulah yang dikatakan Dafi.
Entah
apa yang dimaksud oleh mereka, aku tidak begitu mengerti. Hanya senyum yang
kuungkapkan saat itu.
Semakin
lama pun, aku dan Dafi semakin dekat. Hingga akhirnya aku semakin jauh dengan
Mario. Mungkin dia sudah sibuk dengan Natasya, pacarnya. Pikirku saat itu.
Karena,
aku merasa tidak bisa memiliki Mario, aku pun menerima permintaan Dafi, untuk menjadi pacarnya. Meskipun,
aku hanya menganggap Dafi sebagai kakakku. Karena cinta yang kumiliki adalah
Mario seorang. Namun, sekian lama aku menjalin hubungan dengan Dafi, tetap saja
aku tidak bisa mencintainya, layaknya aku menyayangi Mario, walaupun sudah berusaha. Aku juga tidak mau menyakiti Dafi dengan
berpura-pura menyayanginya, sebagai kekasihku. Dan akhirnya pun aku memutuskan, untuk menjadi teman Dafi lagi
seperti sebelum dia menganggapku pacarnya.
Bulan
Maret, siswa kelas XII mengikuti ujian nasional. Dan semuanya pun lulus dengan
nilai-nilai yang cukup memuaskan, hingga membuat bangga para guru serta orangtua mereka.
Seminggu
setelah kelulusan, aku diajak Mario pergi hangout ke mall dekat rumah kami. Aku
pun mengiyakan ajakannya, karena telah lama tidak pegi bersamanya. Saat tiba di mall,
kami memilih untuk mengunjungi restoran yang ada di mall tersebut. Meja nomor
15 itulah yang menjadi ceritaku. Ia mengatakan beberapa kalimat kepadaku, yang membuatku saat itu ingin
rasanya pergi jauh dari bumi ini.
“Andina,
aku ingin jujur kepadamu. Sebenarnya, aku ingin melupakan semua ini. Namun, aku
tidak bisa!. Semakin aku berusaha melupakan, semakin rasanya aku ingin mati.
An, aku menyukaimu sejak pertama aku melihatmu. Saat itu kamu sedang mengikuti
masa orientasi siswa kelas X dulu. Aku ingin selalu dekat denganmu. Berbagai
cara sudah aku lakukan untuk mendekatimu, namun kamu begitu dingin padaku. Andina, pada saat karnaval dulu,
akulah yang meminta guru agar menjadikanmu mayoret, agar aku bisa sering melihatmu,
pikirku saat itu. Surat yang kuberikan itu pun kamu mengira Dafi yang memberimu
surat kan... Saat itu,
aku ingin memintamu untuk menjadi kekasihku. Tapi justru kamu malah menjadi
pacar Dafi. An, sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini semua kepadamu.
Namun, aku akan pergi ke luar negeri untuk kuliah di sana. Aku hanya ingin kamu tahu
perasaanku selama ini untukmu.”
Bagaimana
aku tidak menangis saat itu? Saat mendengarkan setiap kata yang Mario ucapkan.
“Mario, seandainya kamu tahu.
Perasaanku juga sama denganmu. Aku menyayangimu sejak lama.... Sejak pertama aku melihatmu. Aku
mau menjadi kekasih Dafi karena aku lelah menunggumu. Dan saat itu, banyak
orang mengatakan Natasya adalah kekasihmu.” Itulah yang aku ucapkan kepada Mario. Walaupun
tidak banyak kata yang terucap, namun serasa lima jam aku mengutarakannya. Karena aku mengatakan sambil
menangis.
“Maafkan
aku Andina, mungkin ini salahku. Mungkin kita memang tidak ditakdirkan menjadi
kekasih. Maafkan aku Andina, namun sungguh, aku masih menyayangimu dan akan
selalu menyayangimu.” Kata Mario saat itu.
Ia
pun juga memberikanku sebuah album foto, yang isinya hanyalah foto-fotoku yang ia potret
sendiri, ada foto saat aku sedang di kantin, taman, bersama teman-temanku, foto saat
latihan, fotoku memimpin karnaval, hingga saat aku sedang mengikuti pelajaran.
Kemudian
kami pun pulang setelah meminum jus pesanan kami. Dan itulah terakhir aku
bertemu dengannya di Indonesia.
Aku
pun kini telah duduk di bangku kelas XII. Sejak kejadian itu, aku memutuskan
untuk fokus belajar. Hasil jerih payah dan belajarku, akupun mendapat nilai tertinggi dalam ujian nasional. Dan akupun
melanjutkan kuliahku di Amerika dengan beasiswa prestasi.
Aku tidak menyangka bisa bertemu dengannya di Amerika ini. Saat itu,
aku sedang menyeberang jalan, dan tiba-tiba dengan laju kencang sebuah mobil
hampir menabrakku. Untung saja, sopir mobil tersebut masih bisa mengendalikan laju mobil yang dikendarainya. Sopir itu
pun turun dari mobilnya, dan menolongku. Saat aku melihatnya, aku melihat sosok
Mario di depanku, sedang menolongku sama seperti saat ia menolongku, dan mengambilkan kacamataku yang
terjatuh terkena bola basketnya, delapan tahun yang lalu. Ternyata, ia benar-benar Mario, aku
yakin ketika ia memanggilku, “Andina”... katanya saat itu.
Ia
pun mengajakku ke kafe dekat tempat kejadian tersebut, sebagai tanda permintaan maafnya.
Kami pun saling bercanda gurau mengingat kejadian-kejadian di SMU tempat kami
bersekolah dahulu. Kami juga saling menanyakan karir, Ia masih menjadi seorang Mario yang ku kenal dulu,
kini ia menjadi seorang
fotografer terkenal di Amerika. Dan aku kini merintis karirku menjadi desainer
di Negeri Amerika juga.
Entah
apa yang sebenarnya terbesit olehku, secara spontan aku mengatakan, “Sudah
punya anak berapa?”
“Siapa?” katanya.
“Aku?” tambahnya.
“Iya”, kataku saat itu.
“Aku masih mencintai seseorang yang
dulu kuberi surat,
namun mengira temanku lah yang memberinya.”
Begitu
indah rasanya,
kudengar kalimat itu. Penantianku yang selama ini, akhirnya indah kurasakan. Karena aku juga tidak
pernah memiliki hubungan dengan siapapun, karena sesungguhnya aku masih
mengharapkan Mario....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar