Kamis, 16 April 2015

Segala Hal, Indah pada Waktunya



Setiap jiwa, memiliki seseorang yang tersembunyi di dalam hati. Ketika kita berpikir tentangnya, kita akan merasa seperti tersiksa oleh diri sendiri karena memikirkannya. Tapi kita masih ingin mempertahankan dia. Meskipun kita tidak tahu  dimana sekarang dia berada, dan apa yang sedang dia lakukan? Tapi dia yang membuat seseorang mengetahui hal ini. Sebuah hal kecil yang dinamakan cinta……
Delapan tahun yang lalu, di saat aku masih duduk di bangku SMU tepatnya kelas XI. Saat itulah aku mengenal sosok yang begitu menarik untukku. Sebut dia Mario. Pada saat itu, dia adalah kakak kelasku. Ya, kelas XII. Aku mulai mengaguminya saat pertama kali melihatnya, di saat perjalanan pulang ke rumah dari sekolah kami. Saat itu, aku sedang bersama ketiga orang temanku di sebuah kedai coffee favorit kami. Aku hanya dapat menatapnya dari sebuah kaca toko tersebut, dia pun melintas tanpa memperdulikanku yang telah lama menatapnya.
Namun, tak seindah yang kubayangkan jika aku bisa bersamanya. Saat di sekolah, dia begitu dingin denganku. Bagaimana tidak ? Dia salah satu siswa terkenal di sekolahku karena prestasi olahraganya. Sedangkan aku, hanyalah seorang siswi yang tak begitu populer.
Saat itu, hujan turun begitu deras ketika kami usai pelajaran. Kulihat dia sendirian di depan pintu gerbang sekolah. Awalnya, aku ingin menghampiri dia dan membawakan payung untuknya, sebagai tanda terimakasih karena kemarin dia telah mengambilkan kacamataku, yang terjatuh terkena bola basket. Namun, dua meter sebelum aku sampai di hadapannya, sudah datang seorang gadis yang juga kakak kelasku, menghampirinya dan membawakan payung untuknya. Tentu saja akubegitu sedih yang  kurasakan saat itu! Namun, aku hanya bisa tersenyum melihatnya.
Dua minggu dari kejadian itu, aku ditunjuk oleh guruku untuk menjadi mayoret dalam marcing band sekolah. Sekolahku akan mengikuti sebuah karnaval. Saat itu, aku tidak begitu yakin karena sekali pun belum pernah memiliki pengalaman kegiatan tersebut. Namun aku mengiyakan permintaan guruku. Saat itu pula, aku tidak tahu jika Mario, ditunjuk sebagai sie dokumentasi. Betapa bertambah semangatku untuk mengikuti kegiatan ini. Namun, tak kusangka Natasya, seseorang yang membawakan payung untuk Mario menjadi salah satu panitia karnaval yang bertugas sebagai perias para peserta karnaval.
Hampir 3 minggu, aku mengikuti latihan marcing band ini di sekolah. Dengan penuh semangat dan kerja keras, aku mengikuti latihan agar tidak mengecewakan sekolahku. Hingga akhirnya, aku harus pulang cukup larut malam.
Akhirnya, karnaval itu pun berjalan dengan sukses!.
Setelah beberapa hari dari karnaval tersebut, aku semakin dekat dengan Mario. Mungkin, karena sering bertemu pada saat latihan karnaval dahulu. Aku pun sering diantarnya pulang ke rumah. Terkadang, kami juga berangkat sekolah bersama, karena arah rumah kita yang searah.
Tepatnya, hari Selasa pada saat itu, aku berangkat ke sekolah sendiri dengan menggunakan angkutan umum. Saat tiba di kelas, aku langsung menuju mejaku. Seperti biasa, sebelum aku duduk, aku akan membersihkan tempat dudukku terlebih dahulu. Dan kutemukan sebuah amplop di dalam laciku. Aku pun segera membuka amplop itu, karena terdapat namaku di amplop tersebut. Dan aku mulai membacanya.


For  : Andina
Aku adalah seseorang yang telah menantimu sejak lama. Sejak pertama kulihat dirimu. Aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. Jika kamu bisa menemuiku, temui aku di taman sekolah usai pelajaran nanti.
                                   
                                                                                                                                    13 1 18 9 15
 
 





                                                                                                    

                                                                                                    

              Usai pelajaran, aku langsung menuju taman sekolah untuk menemui seseorang, yang telah memberikan surat tadi pagi, karena aku juga begitu penasaran akan siapa pengirimnya. Sungguh, aku begitu terkejut melihat Mario berada di kursi taman itu.
“Akankah Mario pengirimnya?” Itulah yang bergeming di hatiku.
              Namun, sebelum aku menghampiri Mario, Natasya datang mendahuluiku.
“Jadi, bukan Mario”. Itulah jawaban yang kusimpulkan sendiri.
              Tiba-tiba, datang seorang teman Mario yang juga kakak kelasku. Dafi namanya. Ia datang menghampiriku secara tiba-tiba dari arah belakangku.
“Hai, Andina ya? Sudah menungguku lama? Maaf ya.. hehehe” itulah kalimat yang diucapkannya kepadaku. Aku pun tak mengerti apa maksudnya.
“Iya, jadi kamu yang mengirim surat itu untukku?” tanyaku padanya.
“Hahaha.. surat? Anggap saja iya.” Katanya.
              Sungguh saat itu aku tak mengerti apa maksud ucapannya. Akhirnya pun kami duduk di kursi taman itu berdua.
“Itu Mario kan? Bersama siapa dia? Pacarnya ya? Natasya?” tanyanya kepadaku yang lantas ku jawab,  “Mungkin.”
              Kemudian, Mario berjalan berdua dengan Natasya melewati tempat kami berdua duduk. Mario pun memberikan senyum manisnya kepadaku sambil mengejek Dafi.
“Cantik juga pacar kamu, Daf!!” begitulah katanya yang sedikit membuatku merasa sesak, di hatiku secara tiba-tiba.
“Hahaha.. jelas lah cantik pacar gue gitu.” Itulah yang dikatakan Dafi.
              Entah apa yang dimaksud oleh mereka, aku tidak begitu mengerti. Hanya senyum yang kuungkapkan saat itu.
              Semakin lama pun, aku dan Dafi semakin dekat. Hingga akhirnya aku semakin jauh dengan Mario. Mungkin dia sudah sibuk dengan Natasya, pacarnya. Pikirku saat itu.
              Karena, aku merasa tidak bisa memiliki Mario, aku pun menerima permintaan Dafi, untuk menjadi pacarnya. Meskipun, aku hanya menganggap Dafi sebagai kakakku. Karena cinta yang kumiliki adalah Mario seorang. Namun, sekian lama aku menjalin hubungan dengan Dafi, tetap saja aku tidak bisa mencintainya, layaknya aku menyayangi Mario, walaupun sudah berusaha. Aku juga tidak mau menyakiti Dafi dengan berpura-pura menyayanginya, sebagai kekasihku. Dan akhirnya pun aku memutuskan, untuk menjadi teman Dafi lagi seperti sebelum dia menganggapku pacarnya.
              Bulan Maret, siswa kelas XII mengikuti ujian nasional. Dan semuanya pun lulus dengan nilai-nilai yang cukup memuaskan, hingga membuat bangga para guru serta orangtua mereka.
              Seminggu setelah kelulusan, aku diajak Mario pergi hangout ke mall dekat rumah kami. Aku pun mengiyakan ajakannya, karena telah lama tidak pegi bersamanya. Saat tiba di mall, kami memilih untuk mengunjungi restoran yang ada di mall tersebut. Meja nomor 15 itulah yang menjadi ceritaku. Ia mengatakan beberapa kalimat kepadaku, yang membuatku saat itu ingin rasanya pergi jauh dari bumi ini.
              “Andina, aku ingin jujur kepadamu. Sebenarnya, aku ingin melupakan semua ini. Namun, aku tidak bisa!. Semakin aku berusaha melupakan, semakin rasanya aku ingin mati. An, aku menyukaimu sejak pertama aku melihatmu. Saat itu kamu sedang mengikuti masa orientasi siswa kelas X dulu. Aku ingin selalu dekat denganmu. Berbagai cara sudah aku lakukan untuk mendekatimu, namun kamu begitu dingin padaku. Andina, pada saat karnaval dulu, akulah yang meminta guru agar menjadikanmu mayoret, agar aku bisa sering melihatmu, pikirku saat itu. Surat yang kuberikan itu pun kamu mengira Dafi yang memberimu surat kan... Saat itu, aku ingin memintamu untuk menjadi kekasihku. Tapi justru kamu malah menjadi pacar Dafi. An, sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini semua kepadamu. Namun, aku akan pergi ke luar negeri untuk kuliah di sana. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku selama ini untukmu.”
              Bagaimana aku tidak menangis saat itu? Saat mendengarkan setiap kata yang Mario ucapkan.
“Mario, seandainya kamu tahu. Perasaanku juga sama denganmu. Aku menyayangimu sejak lama.... Sejak pertama aku melihatmu. Aku mau menjadi kekasih Dafi karena aku lelah menunggumu. Dan saat itu, banyak orang mengatakan Natasya adalah kekasihmu.”  Itulah yang aku ucapkan kepada Mario. Walaupun tidak banyak kata yang terucap, namun serasa lima jam aku mengutarakannya. Karena aku mengatakan sambil menangis.
              “Maafkan aku Andina, mungkin ini salahku. Mungkin kita memang tidak ditakdirkan menjadi kekasih. Maafkan aku Andina, namun sungguh, aku masih menyayangimu dan akan selalu menyayangimu.” Kata Mario saat itu.
              Ia pun juga memberikanku sebuah album foto, yang isinya hanyalah foto-fotoku yang ia potret sendiri, ada foto saat aku sedang di kantin, taman, bersama teman-temanku, foto saat latihan, fotoku memimpin karnaval, hingga saat aku sedang mengikuti pelajaran.
              Kemudian kami pun pulang setelah meminum jus pesanan kami. Dan itulah terakhir aku bertemu dengannya di Indonesia.
              Aku pun kini telah duduk di bangku kelas XII. Sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk fokus belajar. Hasil jerih payah dan belajarku, akupun mendapat nilai tertinggi dalam ujian nasional. Dan akupun melanjutkan kuliahku di Amerika dengan beasiswa prestasi.
               Aku tidak menyangka bisa  bertemu dengannya di Amerika ini. Saat itu, aku sedang menyeberang jalan, dan tiba-tiba dengan laju kencang sebuah mobil hampir menabrakku. Untung saja, sopir mobil tersebut masih bisa mengendalikan laju mobil yang dikendarainya. Sopir itu pun turun dari mobilnya, dan menolongku. Saat aku melihatnya, aku melihat sosok Mario di depanku, sedang menolongku sama seperti saat ia menolongku, dan mengambilkan kacamataku yang terjatuh terkena bola basketnya, delapan tahun yang lalu. Ternyata, ia benar-benar Mario, aku yakin ketika ia memanggilku,  “Andina”... katanya saat itu.
              Ia pun mengajakku ke kafe dekat tempat kejadian tersebut, sebagai tanda permintaan maafnya. Kami pun saling bercanda gurau mengingat kejadian-kejadian di SMU tempat kami bersekolah dahulu. Kami juga saling menanyakan karir, Ia masih menjadi seorang Mario yang ku kenal dulu, kini ia menjadi seorang fotografer terkenal di Amerika. Dan aku kini merintis karirku menjadi desainer di Negeri Amerika juga.
              Entah apa yang sebenarnya terbesit olehku, secara spontan aku mengatakan, “Sudah punya anak berapa?”
“Siapa?” katanya.
“Aku?” tambahnya.
“Iya”, kataku saat itu.
“Aku masih mencintai seseorang yang dulu kuberi surat, namun mengira temanku lah yang memberinya.”
              Begitu indah rasanya, kudengar kalimat itu. Penantianku yang selama ini, akhirnya indah kurasakan. Karena aku juga tidak pernah memiliki hubungan dengan siapapun, karena sesungguhnya aku masih mengharapkan Mario....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar